Mari Menari
Selamat datang di
jalan ini. Di sini ada kegembiraan yang tak sudah. Jangan berharap kembali
karena kau tidak bisa memutar arah. Silakan saja bila ingin terus berjalan.
Sayangnya di depan adalah jalan buntu.
“Menarilah,
Sayang. Kita tandaskan kegelisahan kita. Menari, ya, menari.”
Kami menari
sepanjang waktu. Tak pernah ada perselisihan. Tak pernah ada tangisan. Di sini,
kami semua sama. Sama-sama dibuang dari dunia.
“Aku ada di
mana?” tanyamu ketika sampai di gerbang jalan ini.
“Mari kita menari!”
sambut kami.
“Apa maksud
kalian? Aku di mana?” kamu makin sangsi melihat kami semua.
“Tak ada
pertanyaan di sini. Mari menari! Di suasana remang bersama batu dan debu
jalanan. Mari menari! Tandaskan derita di hati kita.”
Kami menari
diiiringi musik di hati sendiri. Sedang kamu begitu ragu menggerakkan badan
mungilmu. Padahal telah kami jelaskan yang larangandi sini. Kesangsian.
“Mengapa kau diam
saja? Mari menari!”
“Tapi, aku tak
pandai menari.”
“Tak usah ragu!
Menarilah! Keluarkan semua perasaanmu.”
Kita pun menari.
Diiringi musik di hati sendiri. Riang. Tenang.
Jalan buntu ini
makin ramai. Didatangi oleh mereka yang terbuang dari dunia. Pada akhirnya
menjadi sampah belaka. Begitu juga aku, kamu, mereka juga debu dan batu-batu
itu. Kita semua dibuang dunia yang kotor.
“Aduh!” kamu
mengaduh. Suatu benda aneh jatuh menimpamu.
“Tenanglah! Kamu
akan terbiasa dengan hal itu. Menemukan benda-benda aneh. Mari kita sudahi
menari. Kita garis-garisi nasib kit di tembok itu.”
Aku menarik tanganmu. Memebawamu ke sisi jalan
buntu ini. Mencoret-coret dinding layaknya anak kecil. Namun, tak perlu
khawatir di sini tak akan yang melarangmu.
Makin ramai makin
damai. Ayo kita tandaskan derita kita. Kamu sudah terbuai di sini. Dalam
kegembiraan yang tak sudah. Seperti aku baca dari matamu.
“Aku senang di
sini. Kalian begitu hangat menyambutku tapi, aku ingin pergi.”
“Tak ada yang
bisa pergi dari sini. Tinggallah di sini kita menari dan menggaris-garis nasib
bersama. Kita semua telah buang. Aku yang dilempar dari pinggir jalan. Juga harus
hidup di tempat yang tidak ada orang menyukaiku.”
“Benar. Aku pun
diusir dari tempat sampah. Namun, aku harus pergi!”
“Tidak ada yang
bisa pergi! Hendak ke mana dirimu? Tidak ada yang mau menerimamu. Bahkan tempat
ini pun banyak orang yang menghilangkannya,” ucapku yang melanggar peraturan
tentang kesangsaian.
Ingin aku selami
perasaanmu itu. Agar kamu tahu betapa kami ingin kamu di sini. Hanya beberapa
menit, kita saling bersidiam, di tengah mereka yang menari.
“Aku ingin
pergi!”
Tiba-tiba kami melihat
seberkas cahaya atau apapun namanya. Satu hal juga yang tak pernah ada di sini.
Muncul gempa yang sangat kuat. Kami pun berhenti menari. Gempa itu makin kuat.
Terlihat benda besar yang aneh menutup gerbang jalan ini.
Kami menangis
sejadi-jadinya. Berharap agar tempat ini tetap ada. Kami terasa diangkat. Seketika aku tak sadar.
***
Aku pun
terbangun. Aku lihat tempat kami berada dalam ruang bening. Dipegang oleh orang
berbaju putih.
“Usus buntu anak Ibu sudah kami angkat. Mulai
sekarang perhatikan apa yang anak Ibu makan,” ucap pria itu.
“Kita dibuang
kembali. Dan, keinginanmu untuk pergi bisa terkabul.”
Kamu tersenyum
manis. Semetara kami di sini menangis.
>>>>>>>>>>><<<<<<<<<<
Apakah kalian mengerti? Mungkin terlalu aneh, ya? Terima kasih sudah membaca.
Ohiya, ini FF pernah dipublikasikan di akun bukumuka ^.^