Rabu, 03 September 2014

FF-Mari Menari!



Mari Menari

Selamat datang di jalan ini. Di sini ada kegembiraan yang tak sudah. Jangan berharap kembali karena kau tidak bisa memutar arah. Silakan saja bila ingin terus berjalan. Sayangnya di depan adalah jalan buntu.

“Menarilah, Sayang. Kita tandaskan kegelisahan kita. Menari, ya, menari.”

Kami menari sepanjang waktu. Tak pernah ada perselisihan. Tak pernah ada tangisan. Di sini, kami semua sama. Sama-sama dibuang dari dunia.

“Aku ada di mana?” tanyamu ketika sampai di gerbang jalan ini.

“Mari kita menari!” sambut kami.
“Apa maksud kalian? Aku di mana?” kamu makin sangsi melihat kami semua.
“Tak ada pertanyaan di sini. Mari menari! Di suasana remang bersama batu dan debu jalanan. Mari menari! Tandaskan derita di hati kita.”

Kami menari diiiringi musik di hati sendiri. Sedang kamu begitu ragu menggerakkan badan mungilmu. Padahal telah kami jelaskan yang larangandi sini. Kesangsian.

“Mengapa kau diam saja? Mari menari!”
“Tapi, aku tak pandai menari.”
“Tak usah ragu! Menarilah! Keluarkan semua perasaanmu.”

Kita pun menari. Diiringi musik di hati sendiri. Riang. Tenang.
Jalan buntu ini makin ramai. Didatangi oleh mereka yang terbuang dari dunia. Pada akhirnya menjadi sampah belaka. Begitu juga aku, kamu, mereka juga debu dan batu-batu itu. Kita semua dibuang dunia yang kotor.

“Aduh!” kamu mengaduh. Suatu benda aneh jatuh menimpamu.
“Tenanglah! Kamu akan terbiasa dengan hal itu. Menemukan benda-benda aneh. Mari kita sudahi menari. Kita garis-garisi nasib kit di tembok itu.”

Aku  menarik tanganmu. Memebawamu ke sisi jalan buntu ini. Mencoret-coret dinding layaknya anak kecil. Namun, tak perlu khawatir di sini tak akan yang melarangmu.
Makin ramai makin damai. Ayo kita tandaskan derita kita. Kamu sudah terbuai di sini. Dalam kegembiraan yang tak sudah. Seperti aku baca dari matamu.

“Aku senang di sini. Kalian begitu hangat menyambutku tapi, aku ingin pergi.”
“Tak ada yang bisa pergi dari sini. Tinggallah di sini kita menari dan menggaris-garis nasib bersama. Kita semua telah buang. Aku yang dilempar dari pinggir jalan. Juga harus hidup di tempat yang tidak ada orang menyukaiku.”
 “Benar. Aku pun diusir dari tempat sampah. Namun, aku harus pergi!”
“Tidak ada yang bisa pergi! Hendak ke mana dirimu? Tidak ada yang mau menerimamu. Bahkan tempat ini pun banyak orang yang menghilangkannya,” ucapku yang melanggar peraturan tentang kesangsaian.

Ingin aku selami perasaanmu itu. Agar kamu tahu betapa kami ingin kamu di sini. Hanya beberapa menit, kita saling bersidiam, di tengah mereka yang menari.

“Aku ingin pergi!”

Tiba-tiba kami melihat seberkas cahaya atau apapun namanya. Satu hal juga yang tak pernah ada di sini. Muncul gempa yang sangat kuat. Kami pun berhenti menari. Gempa itu makin kuat. Terlihat benda besar yang aneh menutup gerbang jalan ini.
Kami menangis sejadi-jadinya. Berharap agar tempat ini tetap ada. Kami terasa diangkat.  Seketika aku tak sadar.

***

Aku pun terbangun. Aku lihat tempat kami berada dalam ruang bening. Dipegang oleh orang berbaju putih.

“Usus buntu anak Ibu sudah kami angkat. Mulai sekarang perhatikan apa yang anak Ibu makan,” ucap pria itu.
 “Kita dibuang kembali. Dan, keinginanmu untuk pergi bisa terkabul.”
Kamu tersenyum manis. Semetara kami di sini menangis.

 >>>>>>>>>>><<<<<<<<<<


Apakah kalian mengerti? Mungkin terlalu aneh, ya? Terima kasih sudah membaca.
Ohiya, ini FF pernah dipublikasikan di akun bukumuka ^.^ 

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah Berkunjung